ilustrasi foto: http://ladangkata.com |
Hai, Langit. Kau tahu? Disetiap kesunyian malamku, aku selalu terhantui oleh isakan-isakan tangis tipis yang selalu mengambang dalam remangan kabut. Jika aku bisa, akan kutepis dengan hantaman pintu kamarku. Tapi aku tak pernah bisa. Isakan itu akan dengan paksa menyusup di sela-sela lubang ventilasi kamar kumuhku. Hai, Langit, akankah kau tambahkan lagi beban di bahuku?
Oh Langit. Mengapa kau tetap tersedu? Sesekali, aku ingin sejenak menikmati nyanyian senja yang membangkitkan gairah indah nan syahdu. Senja tak sepertimu, Langit. Dia hangat memelukku, tak pernah mencampakkanku dalam kedinginan dan kekakuan layaknya dirimu. Hai langit, aku rindu dengan senja yang memerah berkilauan. Aku rindu akan nyanyian-nyanyiannya. Oh Langit, aku akan lupa dengan sosok senja jika kau selalu mencurinya dari balik hangat pelukku.
Kau, Langit. Kau adalah pencemburu. Selalu hadir dalam spasi kosong antara aku dan senjaku. Kau hanya bisa menghadirkan tangis. Kau, Langit. Senangkah kau jika aku ikut tersedu disampingmu kini? Hai, Langit. Kau tak mencintaiku lagi, kan? Jika tidak, aku tak mau lagi bernyanyi bersamamu. Menyanyilah sediri. Wakilkan tangisku, sampaikan pada senjaku, bahwa rinduku telah berujung pada hempasan pilu.
Posting Komentar