Global Var

Hai, Langit. Tulikah Dirimu?

Apakah yang sedang kau rasakan, langit? Haru atau sedihkah dirimu? Mengapa kau selalu tersedu ketika senja memelukku? Tak cukupkah kau lega jikalau sukmaku lebih sakit daripada hatimu? Cemburukah kau jika aku selalu ingin bercumbu dengan bumbungan senja yang akan lekas membiru?



ilustrasi foto: http://ladangkata.com
        Sudahlah, Langit. Hentikan sedu sedanmu. Kau tahu? Aku telah terlalu bosan mendengar suara keras genderang yang kau dendangkan bertalu-talu. Terkadang iringan musikmu memang terdengar syahdu, tapi pilu dan nyilu jika terangkum dalam kalbu. Sudahlah Langit. Bukan iringanmu yang tak kumau, tapi lirik nyanyianmu yang membuatku tak mampu untuk sendiri membendung perasaan rindu.

        Hai, Langit. Kau tahu? Disetiap kesunyian malamku, aku selalu terhantui oleh isakan-isakan  tangis tipis yang selalu mengambang dalam remangan kabut. Jika aku bisa, akan kutepis dengan hantaman pintu kamarku. Tapi aku tak pernah bisa. Isakan itu akan dengan paksa menyusup di sela-sela lubang ventilasi kamar kumuhku. Hai, Langit, akankah kau tambahkan lagi beban di bahuku?

        Oh Langit. Mengapa kau tetap tersedu? Sesekali, aku ingin sejenak menikmati nyanyian senja yang membangkitkan gairah indah nan syahdu. Senja tak sepertimu, Langit. Dia hangat memelukku, tak pernah mencampakkanku dalam kedinginan dan kekakuan layaknya dirimu. Hai langit, aku rindu dengan senja yang memerah berkilauan. Aku rindu akan nyanyian-nyanyiannya. Oh Langit, aku akan lupa dengan sosok senja jika kau selalu mencurinya dari balik hangat pelukku.

        Kau, Langit. Kau adalah pencemburu. Selalu hadir dalam spasi kosong antara aku dan senjaku. Kau hanya bisa menghadirkan tangis. Kau, Langit. Senangkah kau jika aku ikut tersedu disampingmu kini? Hai, Langit. Kau tak mencintaiku lagi, kan? Jika tidak, aku tak mau lagi bernyanyi bersamamu. Menyanyilah sediri. Wakilkan tangisku, sampaikan pada senjaku, bahwa rinduku telah berujung pada hempasan pilu.