Global Var

A phoem by my little bred

Jiwaku digerogoti nafsu
Ringkih merangkak bersimbah peluh
Nafsu makin gerang menyerbu
Mengorek sisa daging yang membiru

Nafsu qolbu
Menyebar, menebal, meracun, meresap
Dalam keruh pikir gemuruh
gelap menggelayut dalam
menutup sisa-sisa pintu hati.

tanganku meraba
mata telah buta
terkubur dalam lembah nista
jiwa semakin terperosok
jauh dalam lembah muram
meremukkan tiap sendi iman

asa tak lagi perkasa
jiwa itu kering dalam pasung duniawi
duri kehidupan menancap tak berperi

aaahhh
sakit itu mengganas, mengoyak tiap jengkal tubuh
nurani memberontak, tapak nafsu bergerak
nurani meloncat
berenang syahwat menjerat
menjerat kuat, mengikat, menyetop nadi
nurani menggelepar, darah mengalir
air mata berlinang
lemah menunggu buaian lembut Sang Pembuat Nafsu

Tentang 'luar' dan 'dalam'

Berbicara tentang kebaikan versus keburukan seseorang itu, nggak akan ada habisnya. Baik layak untuk dipuji, dibicarakan dan ditelaah kebaikannya. Tapi keburukan juga tak kalah layak untuk digunjing dan dijadikan sebagai selipan-selipan pembicaraan. Selipan, atau inti? Sering kita terlena dengan bahasan kebaikan atau kebururukan orang yang menurut kita 'menarik', tanpa ingin tahu bagaimana inti dari keadaan sang aktor yang kita bicarakan.

Kebaikan dan keburukan itu bisa dilihat ketika keberadaannya diluar, dan juga bisa dirasakan ketika keberadaannya di dalam. Tapi mungkin sudah terlalu menjadi kebiasaan umum jika ternyata aktifitas merasakan jauh lebih sulit daripada aktifitas melihat. Inilah bukti jika kita terlalu mengagung-agungkan mata daripada hati, atau apalah itu. Kita sebagai penilai, sering seenak udel kita memilih mata untuk menilai, tapi ketika kita diposisi orang yang dinilai, kita juga seenak udel kita ingin dinilai dari segi hati dan pikiran.

Inilah mungkin yang patut kita jadikan sebagai pelajaran berharga, bahwa kebaikan itu tak harus dalamnya saja, apalagi luarnya saja. Kebaikan luar saja itu, berarti kita membohongi orang disekitar kita. Memonopoli kehidupan diluar diri kita. Atau bahkan, jangan-jangan kita berusaha membohongi diri kita sendiri, repot! Sedangkan kebaikan didalam saja? berarti kita juga berusaha untuk menipu mereka yang ada diluar kita. Sering kita mendengar bahwa kebaikan itu tak perlu diperlihatkan pada orang-orang disekitar kita. Tapi, bukankan kejujuran itu lebih baik daripada kebohongan? Silahkan saja jika kita ingin memperlihatkan kebaikan kita terhadap orang disekitar kita, asal kita tau batasan mana infestasi dari kebaikan, dan mana yang merupakan infestasi dari kesombongan.

Oke, intinya simpel saja, jadi manusia itu lebih baik jadi orang yang jujur apa adanya. Biasakan merasakan sakit akibat kejujuran. Tapi ingat, jujur tak sama dengan 'combe' atau yang biasa dikatakan sebagai 'ember'. Menghadapi hidup itu harus dengan cerdas. Harus smart! Orang cerdas itu, tau kapan dia harus berbicara, dan kapan dia harus diam. So, keep smart bro :)


Ini Ceritaku

Ini adalah tentang sebuah cerita pasaran, yang tak cuma satu-dua orang pernah mengalaminya. Ini adalah tentang sebuah cerita murahan, begitu murahnya sampai-sampai banyak sekali orang yang dapat dengan mudah memilikinya. Ini adalah tentang suatu cerita yang gampang didapat dan dialami oleh setiap orang. Kalian tau mengapa? Karena cerita ini adalah tentang kehidupan dan pengalaman. Jika kalian hidup, tentulah kalian sangat mengenal cerita ini.

Setiap dari mereka, mengemas cerita mereka dengan bungkus yang berbeda. Ada sebagian dari mereka yang mengemasnya dengan bungkus blastik transparan, sehingga pendengar cerita dengan mudah dan tanpa tendeng aling-aling dapat mengerti bahkan tanpa berfikir dua kali. Kadang juga ada dari mereka yang membungkusnya dengan plastik warna abu-abu, atau bahkan hitam. Sedangkan ceritaku? Entah dengan bungkus warna apa aku akan mengemas ceritaku, kalianlah yang menilai.

Ini adalah ceritaku tentang seorang sahabat. Tunggu! Sahabat? Bahkan sampai aku melupakan teoriku tentang ketiadaan sahabat di zaman ini. Oke, mungki sebaiknya akan aku ralat, ini adalah ceritaku tentang seorang teman baik yang aku anggap sebagai sahabat. Bukan karena dia adalah insan yang sempurna, jelas bukan. Bicara tentang kesempurnaan, masih adakah orang yang sempurna? Ini adalah ceritaku tentang seorang yang meskipun tak sempurna, tapi aku menyukai dan menerimanya. Ini adalah ceritaku tentang seorang teman baik yang telah aku percaya dan kupandang pantas menjadi teman yang benar-benar teman. Dan ini adalah ceritaku tentang lelaki penghuni Puncak Rendah Selasa.