Global Var

Mencintai dengan cara tersendiri

          Kau mencintaiku dengan caramu sendiri. Jika tak terkesan lancang, aku menyebutkan bahwa caramu mencintaiku itu tak wajar. Kau mencintaiku dengan cara yang tak wajar. Kau mencintaiku dengan caramu sendiri, yang tak sama dengan cara-cara yang digunakan oleh sebagian-atau bahkan mungkin semua orang. Kau mencintaiku dengan caramu sendiri, mengutamakan kepuasan pada otak dan hatimu, bukan kepuasan dan ketenangan orang yang kau cintai, aku. Kau mengikat, menggenggam, mendekap, menekan, serta membungkusku dengan cintamu secara kasar, keras dan brutal. Aku tahu-faham jika yang kau lakukan itu adalah salah satu manifestasi atas besarnya rasa cintamu padaku, rasa memilikimu atasku, dan rasa kuasamu atas diriku. Kau mendorong, menarik, bahkan melemparku secara paksa untuk hanyut dalam buaian ganasnya cintamu. Kau mencintaiku dengan segenap mililiter darah yang mengalir dalam tubuhmu. Aku tahu. Aku faham, tapi tak pernah merasakan hal yang sama sepertimu.

          Sedangkan aku? Aku membencimu dengan beribu-ribu, bahkan dengan berjuta-juta alasan yang menurut mereka tak logis. Aku membencimu dengan segenap hati yang luka, cemburu. Aku membencimu dengan caraku sendiri: dalam sudut ketakutan, dan gelapnya hati. Aku membencimu dengan cara yang wajar menurut sebagian orang yang menglami hal yang sama denganku, sama terikat, sama tertarik, sam terdorong, sama terbebani, dan sama-sama yang lain. Mereka yang menyebutkan bahwa aku membencimu dengan cara yang tak logis adalah, mereka yang aku cemburui. Adalah mereka yang tak pernah merasakan suatu suasana dimana aku harus menangis untuk menjemput kepuasan, harus menjerit untuk menahan kesakitan, dan harus mengeram menahan kemarahan. Aku membencimu dengan caraku sendiri, karena memang aku tak mampu memakai cara yang sering mereka gunakan. Aku hanya bisa menendang awang-awang, menangisi kekosongan, dan membenci kecemburuan. Jangankan berlari, bergerak pun aku tak kuasa, menoleh apa lagi? Aku membencimu dengan sejuta kata yang telah kupelajari atas tenagamu, dengan keringatmu: sungguh tak pantas. Aku membencimu karena cemburu.

            Ketika aku membencimu dengan caraku sendiri, saat itu pula aku menyayangimu dengan caraku sendiri. Aku menyayangimu dengan caraku sendiri. Aku mencintaimu dengan caraku sendiri, bukan hasil duplikat pada seorang rekan kerja, atau teman semasa kecil, tapi benar-benar dengan caraku sendiri. Aku berbeda dengan mereka, dan aku tak mau menggunakan cara mereka untuk mencintaimu. Cukup dengan caraku sendiri aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan caraku sendiri, sebagai wujud kehausan akan kasih sayang, kelaparan akan kecintaan, dan kerinduan akan belaian. Aku ingin kau peluk secara perlahan, bukan kekasaran. Aku ingin kau kecup dengan ketenangan, bukan ketergesaan. Aku ingin senyum ketulusan, bukan paksaan. Dan aku ingin, dan selalu ingin, serta terus mengingini sesuatu atasmu. Sekali lagi, aku mencintai dan menyayangimu dengan caraku sendiri, mengedepankan logika daripada hatiku. Aku lancang. Aku tak tahu malu. Aku tak berhati. Aku tau itu. Tapi ada satu yang tak luput dari diriku. Aku mencintaimu, amat mencintaimu, dengan caraku sendiri.

           Hey kau! Taukah kau? Aku adalah salah satu orang dari sekian ribu orang yang amat mencintaimu. Ah tidak, mungkin aku termasuk dalam 3 finalis besar yang mempunyai rasa cinta yang amat sangat terhadapmu. Buktinya? Aku adalah orang pertama yang akan meneteskan air mata saat kau menahan sakit. Aku adalah orang pertama yang akan merasakan kegelisahan yang berlebih ketika kau dalam keadaan sulit. Dan aku adalah orang pertama yang selalu mendahulukanmu dalam beberapa hal. Ya. Beberapa hal, bukan semua hal, maaf.

          Taukah kau? Aku ingin kita saling mencaintai satu sama lain dengan cara kita. Ya, dengan cara kita: Bukan cara yang selama ini kau gunakan, yang memberatkanku. Bukan cara yang selama ini aku gunakan yang juga memberatkanmu, bukan pula cara mereka yang hanya bisa dipasang dengan nyaman pada posisi mereka sendiri. Ah, betapa indahnya jika kita bisa membuat suatu cara untuk kita gunakan bersama, tak ada saling memberatkan, tak ada keterpaksaan, dan tak ada ketertutupan. Semua sama, karena itu cara kita, bukan caramu, atau pula caraku.

          Hey kau, aku ingin kau tahu, jika aku mencintaimu dengan caraku sendiri, dan aku membencimu dengan sejuta alasan yang muncul diotakku atas bantuan keringatmu, maaf.

Sudut kegalauan,
22-09-2012
21.50 WIB

Menjadi DEWASA itu sulit!!!

Menjadi DEWASA itu sulit. Sesulit aku menulis tulisan ini. Sulit sekali. Memerangi fikiran yang kian rumit. Dan ternyata menjadi DEWASA itu rumit! AAAAAAAAAARRRRRRGGGHHH!!!

PAS Kena Hatiku

Nggak sengaja dengerin lagu yang salah satu liriknya sama persis dengan judul tulisan kali ini di Kampung Kuliner deket kampus (sekarang). Tiba-tiba pengen nulis tentang sesuatu yang bertema PAS kena ke HATI. Nggak tau juga pengennya mulai darimana, yang jelas sekarang saya juga lagi ngerasain sesuatu yang sama dengan judul tulisan kali ini. PAS kena ke HATI. Artinya pasti udah pada tahu ya, biasanya kita sebut dengan sebutan "Nylekit" atau "Makjleb", atau apalah yang bisa ngewakilin dan ngegambarin betapa tepatnya kata-kata atau perlakuan orang lain terhadap kita.



Sedikit saya cuplik lirik lagunya kalo nggak salah seperti ini:
          aku belum bisa maafkan kamu
          aku belum bisa lihat wajah kamu
          rasanya tersiksa, rasanya tak mau
          tak ada obatnya sakit yang kamu buat dulu
          karena pas pas pas pas pas kena hatiku

Sedikit nylekit juga denger lagu itu, secara sekarang ceritanya saya lagi sakit hati gitu deh karna perlakuan temen baik saya tadi siang, (saya katakan sebagai temen baik karna emang sejatinya dia itu adalah temen yang baik banget). Masalahnya saat ini bukan soal baik dan tidak baik, tapi soal pas apa enggak kata-kata temen kita itu pada selera atau keadaan kita saat itu. Emmm.. maksud saya, ketika perkataan atau perlakuan temen kita itu pas sama apa yang kita inginkan, pasti kita juga akan nyaman deket-deket sama dia, begitu juga sebaliknya.

Dan sebagai orang yang sedang dalam proses menuju kedewasaan (hehehee.. serius amat), selanjutnya saya nggak semata-mata hanya mikirin itu lagu, yang udah keliatan banget kalo maksud pas di lagu itu menunjukkan suatu ketidaknyamanan berdekatan dengan seseorang. Emm.. jadi ceritanya saya juga langsung kepikiran lagunya Ari Lasso yang kurang lebih liriknya kayak gini:
          Sentuhlah dia tepat di hatinya
          Dia kan jadi milikmu selamanya
          Sentuh dengan setulus cinta
          Buat hatinya sampai melayang

Nah, seketika itu juga saya langsung mikir kalo konteks PAS itu nggak cuma berlaku buat sesuatu yang nggak nyenengin aja. Artinya kata PAS juga bisa berarti suatu keindahan. Kalo boleh saya menyimpulkan, inti dari kata PAS itu adalah suatu stimulus yang mampu membuat menyentak tepat dihati dan fikiran kita. Entah itu stimulus buruk atau baik. Intinya dengan stimulus itu, kita nggak akan lama-lama  'mulek' di area afeksi saja, tapi langsung menggiring hati dan fikiran kita menuju suatu puncak dari emosi.

Nah, sedikit suguhan dari saya, semoga bisa dinikmati..
Ditulis di Kampung Kuliner Dinoyo
Dengan perasaan sok galau
19.00

Tingkat Kecantikan apa Tingkat Kesetiaan?

Berlanjut dari salah satu status postingan iseng saya di fesbuk, yang ternyata banyak yang menyukai topik tersebut, dan saya rasa emang seperti itu. Kurang lebih isinya seperti ini:
Gak habis fikir sama orang yang pada bangga sama koleksi mantan yang banyak.. mungkin tolak ukur mereka adalah kecantikan: bisa gonta ganti pacar sesuka 'udel'nya.. tapi tolak ukur saya bukan kecantikan, tapi kesetiaan: semakin sedikit mantan (apalagi nggak punya mantan), berarti dia semakin setia :)
 
Ini bukan cerita yang tiba-tiba muncul dikepala saya atau dari novel yang kerap saya baca, tapi cerita ini asli berawal dari pengalaman saya saat duduk bersebelahan dengan tersangka (baca: cewek yang hoby mengoleksi mantan) saat kuliah berlangsung dikelas. Tergambar jelas diwajah mereka (karena nggak cuma satu tersangka saja) jika mereka bangga dengan kedudukan mereka yang sering gonta ganti pacar. Nggak jelas juga apa yang melatarbelakangi mereka mempunyai fikiran seperti itu, karena yang jelas mereka adalah tipe orang yang nggak suka mikir 'susah'. Maunya hidup itu ya dibuat hepi aja, GAK USAH RIBET. Gitu aja kok repot.
Mendengar selentingan demi selentingan yang mereka lontarkan, saya jadi berfikir (semoga aja fikiran saya benar), mungkin yang mereka jadikan tolak ukur dari peristiwa gonta-ganti pasangan itu adalah KECANTIKAN. Ya, mengapa saya berbicara seperti itu? Karena saya melihat jika para tersangka mempunyai wajah yang cantik dan didukung dengan fisik yang memukau. Saya fikir nggak salah juga jika banyak laki-laki yang ngantre buat jadi pacar mereka. Orang cantik itu gampang cari pasangan, satu putus, tinggal ganti dan milih pasangan pengganti yang sesuai dengan hatinya. Bahkan terkadang belum putus pun udah banyak yang ngantri. Nah loh???
Memikirkan alasan dari mereka gonta-ganti pasangan pun tiba-tiba muncul pemikiran yang lain tentang hal itu: Terus, bagaimana dengan KESETIAAN mereka? Begitu gampangkah seseorang untuk meloncatkan hatinya dari orang satu ke orang yang lainnya? Ehm, sori ya sebelumya, saya tidak mengklaim kalau apa yang mereka lakukan itu salah. Itu semua hak mereka dong, ngapain juga kita harus ikut campur, iya nggak? Saya cuma tiba-tiba menganggap kalau topik ini bagus untuk dibicarakan, tetap dengan menyembunyikan identitas tersangka tentunya untuk menghormati mereka.
Menurut pandangan saya nih, orang yang tingkat kesetiaannya tinggi itu susah untuk berganti pasangan. Seandainya putus cintapun, setidaknya ada jeda panjang untuk bisa dapet penggantinya, nggak sukur nampa orang yang ada disekitarnya. Emmm... jadi saya membuat semacam hukum dari kesetiaan gitu deh, sedikit nyuplik dari perkataan hukum pasar, bahwa semakin sering orang berganti-ganti pasangan, maka semakin rendah tingkat kesetiannya, begitu juga sebaliknya.
Sedikit share dan pengen tuker fikiran sama pembaca aja sih sebenernya, mungkin ada yang punya pandangan dari sudut yang lain? atau ada tulisan lain yang ada hubungannya sama tulisan saya kali ini? Ya monggo dikasi linknya di comment buat saya. Terimakasih :)

Ditulis dimarkas utama penulis,
Malang, 07 September 2012 16.25 Sore

Nama Adalah Doa??

Sepanjang, 2006
"Harirotul Fikri!!". Guru Bahasa Arab memanggil namaku dengan keras. "Susunan apa nama kamu itu Har?" Beliau melanjutkan. "Emmm... Nggak tau pak, Afwan" Aku menjawab disertai dengan senyum amat manis yang pernah aku punya. "Makanya, kalau ingin tau susunan suatu kalimat, selain dilihat dari ciri-ciri fisiknya, ada baiknya juga dilihat dari sisi maknanya juga. Kamu tau Har, apa arti dari nama kamu?" Aku kembali menggeleng. Bukannya aku 'buta' akan arti namaku, pernah sesekali aku membuka kamus bahasa arab (bukan punyaku pastinya) dan mencari apa arti dari namaku. Setelah aku cek dan ketemu, ternyata arti dari nama depanku adalah 'Sutera', dan arti dari nama belakangku adalah 'Berfikir'. Tapi endingnya tetap, aku tak bisa menerka maksud dari namaku. "Hariroh itu artinya 'Sutera', sedangkan Fikri artinya 'Berfikir', jadi maksud dari nama kamu adalah 'Kelembutan Berfikir'". Belum sempat aku menikmati dan membanggakan arti dari namaku, tiba-tiba ada salah satu temanku menyeletuk : "Iya pak, saking lembunya, kalo mikir sampe kebawa tidur". TEK!! Nama adalah doa. Itukah artinya?

Malang, 2012 (Hari ini)
 "Hariroh" Dosen Teologi Islam menyebutkan namaku dengan suara lirih saat gliran pengabsenan namaku telah tiba. "Ada pak!!" Jawabku mantap. "Har, kamu tau nggak apa arti dari nama kamu?" Hassssh.. Lagu lama, menanyakan arti dari namaku. Tapi jawabanku tetap sama. "Tidak pak!" Intinya aku jawab seperti itu tak lain adalah aku selalu tak yakin dengan arti dari namaku sendiri. Namaku mengandur arti kiasan, mengandung arti tersembunyi, tidak seperti nama 'Uswatun Khasanah' mungkin, yang artinya udah pasti : Teladan yang baik. Atau Sholeh misalnya. Tapi aku sadar, hanya nama-nama yang berkiaslah yang akan dipertanyakan. Karena harus dipikir lebih lanjut, mungkin. "Harirotul Fikri itu artinya 'Kemerdekaan berfikir', jadi kamu dikelas harus aktif". Dan aku tanggapi dengan senyum merekah. Aku senang dengan arti dari namaku yang versi kali ini.

Ya. Lumayan lama aku merenungi arti dari namaku yang kembali dibahas dikelas. Dari sekian kali pembahasan namaku dikelas, baru sekarang aku tertarik untuk memikirkannya lebih lanjut. 'Kemerdekaan Berfikir', ketika mengingat kata itu, yang terbesit dalam benakku adalah sosok cara berfikir yang bebas, tanpa batas, dan tanpa ujung. Kadangkala juga bersifat 'Tak bersekat'. Cara berfikir seperti ini kadang-kadang bisa ngawur, tak memiliki batas dimana suatu hal bisa dikatakan layak untuk difikirkan, yang tak layak untuk difikirkan, dan mempunyai cara berfikir sepeti orang-orang disekitar atau lumrahnya orang punya fikiran tentang suatu hal, itu pasti.

Iseng-iseng juga aku kaitkan arti namaku diatas dengan keadaan yang sedang aku alami. Posisiku dalam keluarga seperti apa, atau dalam pertemanan mungkin? Atau tingkat ketidaksetujuan orang disekitarku atas kemiringan pikiranku, dan ternyata tak banyak meleset.

Dalam kehidupan keseharian misalnya. Jika aku merasa takut dan bingung untuk menghadapi dampak dari suatu perilaku yang telah aku lakukan, aku tidak hanya berfikir satu hal dampak yang mungkin terjadi. Itu benar kawan, tidak hanya satu, dan itu banyak sekali. Pernah suatu ketika aku mengungkapkan semua jenis unek-unekku pada teman yang aku anggap sebagai teman baikku, dan reaksinya sangat amat tidak mengenakkan. Mereka bilang kegalauanku tak berdasar. Mereka bilang kegalauanku sangat tidak mungkin terjadi, dan mereka bilang kegalauanku sangat tidak logis! Ketika aku menjelaskan betapa mungkin hal itu terjadi, mereka malah menyerang ulang jika orang lain tidak akan pernah punya pikiran sekonyol pikiranku. Dan hasil konsultasiku pun gagal: Aku tetap merasa galau.

Tak banyak beda dengan suasana dirumah ketika aku mengungkapkan pikiranku yang aku sebut nylempang dengan pikiran orang rumah. Oke, gampangnya aku anak yang berbeda dengan saudara-saudaraku yang lain: Kalau saudara-saudaraku semua bertipe penurut, aku pemberontak. Selalu menjawab apa kata orang tua jika tak bisa aku paksa masuk pada pikiranku. Seringkali aku merasa dianaktirikan atas tindakanku yang mungkin tdak sesuai dengan keinginan mereka. Sakit hati juga sering aku rasakan, meskipun aku juga jago menyembunyikannya. Dan aku tau apa penyebabnya, yakni pola pikirku yang tak sejalan dengan pola pikir mereka.

Sekarang aku jadi mikir, yang memberi nama aku itu siapa? Jika banyak yang mengatakan kalau Nama itu adalah doa, dan ketika doa itu telah dikabulkan oleh Yang Di Atas, kenapa anak yang harus disalahkan??

Ditulis dengan hati yang galau.
Dikamarku, yang aku paksakan untuk jadi Istanaku.