Global Var

Mencintaimu 'Ada' Apanya!

@anonymous berkata:
Aku mencintaimu ada apanya, bukan apa adanya. Artinya, aku mencintai kamu dengan apa yang ada pada dirimu, tak minta lebih, tak menuntut lebih, dan tak melihat kelebihanmu saja.

Sip! Saya setuju dengan pendapat yang telah diutarakan oleh narasumber diatas, masuk akal dan mengharukan, bisa mencintai kelebihan sekaligus kekurangan pasangan dengan hati yang lapang, tak menuntut dan ikhlas. Menilik potongan kata-kata diatas, salah satu teman saya yang lain berpendapat jika pernyataan kedua, "Mencintaimu ada apanya" biasanya disandang oleh cowok atau cewek yang matre, yang mengisi kata "apa" dengan kata yang disukai selain diri orang yang dicintai, contoh: "Aku mencintaimu ada mobilnya", "Aku mencintaimu ada motornya", atau "Aku mencintaimu ada hartanya, tanahnya, perusahannya, dll".

Mendengar alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, lantas saya bertanya pada diri saya sendiri, mengapa pernyataan yang kedua dipersalahkan? Bukannya sesuatu itu bisa disalah atau benarkan sesuka hati tergantung alasan yang melatarbelakanginya? Saya, mencoba untuk selalu melihat sesuatu dari segi positifnya, semampu saya. Bukannya sok dewasa atau apa, tapi mencoba dan belajar untuk lebih dewasa daripada sebelumnya.

Kembali pada kalimat "Aku mencintaimu ada apanya." Jika kita melihat dan mengisi kata "apa" dengan harta, pastilah jika kita melihat kata tersebut dari sisi negatifnya yang justru akan memperkeruh suasana hati dan pikiran kita. Cobalah kita artikan kalimat tersebut sebagai suatu bentuk penghargaan kita terhadap "apa" yang dimiliki dan saat itu melekat pada diri orang yang kita cintai.

Contohnya simpel saja. Seandainya orang yang kita cintai bekerja sebagai menejer atau bahkan satpam di suatu instansi, maka arti dari mencintainya ada apanya adalah kita mencintai dirinya, juga mencintai apa yang saat itu melekat pada dirinya, baik itu wujud dari orang yang kita cintai itu sendiri, sifatnya, wataknya, kebiasaannya, juga pekerjaannya. Mencintai yang dimaksud dalam konteks ini adalah menyukai serta menghargai apa yang melekat pada orang yang kita cintai. Semua, tidak terkecuali. Ketika orang yang kita cintai mempunyai salah satu sesuatu yang buruk misalnya, maka kita juga bisa menerimanya dengan hati yang lapang. Karena sekali lagi, kita juga mencintai "apa" yang ada dalam dirinya.

Nah, sekarang yang sering dipertanyakan adalah, bagaimana jika "apa" yang ada pada diri orang yang kita cintai-yang juga kita cintai tersebut hilang? Apakah mencintai semacam ini akan memudar karena adanya kasus ini? Jawabannya tidak. Sekali lagi, orang yang mencintai macam ini adalah orang yang mencintai segala sesuatu, apapun yang ada dalam diri orang yang dicintai. Dan jika ada sesuatu yang hilang, jatuh miskin misalnya, maka keadaan miskin juga merupakan suatu keadaan yang saat itu melekat pada diri orang yang dicintai tersebut.

Maka konklusinya adalah mencintai dan menghargai segala sesuatu yang melekat pada diri orang yang kita cintai dalam semua kondisi, baik kondisi "keadaan" maupun "ketidakadaan" dari "apa" yang terkandung dalam kaliamat "Mencintai ada apanya".

Wallahu A'lam ..

Ingin menulis? Baca ini dulu!



Ali bin Abi Thalib. Siapa sih yang nggak kenal dengan sosok besarnya? Secara beliau adalah salah satu orang penting dalam dunia Islam. Selain sebagai khulafaur Rasyidin, beliau juga termasuk sahabat Nabi yang merangkap pula sebagai suami dari sayyidah Fathimah Azzahra yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak dari nabi Muhammad SAW, nabi besar umat Islam.

Selain berkutat dalam masalah politik kepemimpinan serta agama, ternyata beliau juga termasuk orang yang peduli terhadap dunia tulis menulis. Dalam kepedulian beliau kepada dunia tulis menulis, Kholifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata demikian: “Setiap penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.” 

Cuplikan diatas memberikan banyak pengertian tentang menulis terhadap kita. Pertama, bahwa tulisan tidak akan mati, sedangkan penulis pasti akan mati. Seperti yang telah kita pahami bahwa penulis adalah makhluk hidup yang pasti akan menemui ajalnya dan pasti akan lebur termakan usia. Sedangkan karya tulis, akan tetap ‘ada’ atau hidup meskipun sang penulis telah menyatu dengan tanah. Kita sebagai manusia tidak akan bisa melawan kodrat tersebut. Dan disinilah letak telak pilihan manusia bahwa jika ingin dirinya abadi, maka tulisan akan menjadi salah satu solusi.

Yang kedua adalah seruan untuk menulis sesuatu yang dapat membahagiakan diri penulis di akhirat kelak. Menulis itu mudah. Tinggal menekan tusts-tuts keyboard, menggerakkan pena di atas kertas, menuangkan apa yang ada di otak dan pikiran, sudah. Jadi. Tapi menulis dengan kriteria yang dapat membahagiakan penulis sampai di akhirat nanti? Tentu tidak mudah.

Seperti yang kerap kita jumpai dalam majalah-majalah, koran dan media-media cetak yang lainnya telah banyak bermunculan berbagai tulisan yang bernada ‘tak mendidik’. Tak mendidik dapat kita lihat dari sudut kualitas maupun kuantitas dari eksistensi tulisan itu sendiri. Lebih-lebih tulisan atau artikel yang kerap berbau pornografi. Hal ini tidak sepenuhnya salah penulis. Konsumen tulisan atau pembaca juga ikut andil dalam pemasaran tulisan. Semakin banyak peminat suatu ‘genre’ tulisan, maka tulisan-tulisan macam itu pula yang akan semakin menjamur dalam masyarakat.

Sebagai penulis, juga manusia yang terikat oleh berbagai norma kehidupan, penulis seharusnya menerapkan norma-norma tersebut juga dalam tulisan yang ditorehkan. Norma-norma tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan suatu tulisan yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tapi juga merangkap banyak manfaat bagi penulis maupun pembaca. 

Menulis ada kalanya bermanfaat untuk penulis saja, untuk pembaca saja, untuk penulis dan pembaca dan juga sebaliknya. Menulis yang baik adalah apabila penulis mampu mewujudkan suatu manfaat nyata bagi penulis maupun pembaca. Menulis yang baik akan juga mempertimbangkan pembaca saat membaca tulisan yang ia buat. Dan yang paling penting adalah menulis yang baik berarti menuliskan sesuatu yang dapat bermanfaat selamanya. Dalam artian dapat bermanfaat di dunia dan di akhirat.

Yang ketiga, sebagai manusia yang mempercayai dan beriman kepada hari akhir, sudah seyogyanya kita juga menyadari bahwa setiap apa yang kita kerjakan di dunia sekarang, ada kalanya akan berdampak baik di akhirat, juga ada yang akan berdampak buruk. Jadi dalam menulis, jika ingin menulis sesuatu yang dapat juga dihubungkan dengan urusan akhirat yang baik, maka tulisan yang dibubuhkan juga harus terikat pada norma-norma aturan agama yang telah ditentukan.

Maka, tulislah sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi semua oknum yang terlibat dengan tulisan tersebut agar tulisan yang dituangkan dapat membahagiakan kita sebagai penulis di akhirat kelak.

Wallahu A’lam.