Global Var

Inspirasi Pagi

Bagi pemalas dan si tukang tidur -seperti saya-, pagi mungkin lebih bisa dinikmati dengan hanya memeluk guling dan kembali meringkuk didalam ketebalan selimut yang hangat. Tapi bagi penggiat, -bukan penggiat tidur pastinya- pagi adalah suatu tenaga baru, pagi adalah suatu gairah membuncah, dan pagi adalah suatu inspirasi.

Inspirasi pagi. Jadi teringat salah satu rekan yang menamakan media share tulisannya dengan nama ini, Inspirasi Pagi. Mungkin, ia sebagai orang penyemangat ingin menegaskan bahwa inspirasi itu adalah pagi. Semangat itu pagi, dan indah itu pagi. Pagi selalu segar menjanjikan. Kata salah satu temanku, pagi adalah kado yang siap kita buka kapan saja, yang pastinya kita tak tahu apa yang ada di dalam pagi itu. Tuhan, selalu memberikan kado kepada manusiaNya setiap hari. Dengan sejuta kejutan.

Bagaimana mekanismenya? Kata orang orang-orang ilmu pasti, pagi adalah digunakannya berjuta-juta sel-sel yang terlahir baru yang sedetik sebelumya telah mengalami regenerasi dalam tidur. Sel-sel tersebut masih suci, dan siap digunakan sebagaimana mestinya.

Bagaimana kronologinya? Kata orang-orang ilmu sosial, pagi adalah suatu saat dimana hati belum dicemari oleh berbagaimacam kepelikan dunia perekonomian, sosial, atau semacamnya. Pagi masih begitu bening. Hati tidak terkotori oleh hasil dari interaksi antara diri dengan manusia lain, dengan hewan lain, dengan tumbuhan lain atau dengan makhluk lain.

Bagaimana pagi bisa menjadi inspirasi? Ya, Tuhan telah begitu baik dengan menjodohkan pagi dengan embun. Tuhan telah begitu Cerdas dengan memasangkan pagi dengan sinar terik mentari yang membawa gairah. Sesekali, silahkan anda sentuh dedaunan yang ada didekat anda berpijak. Rasakan gairahnya, dan bandingakan dengan siang yang terasa lemas dan loyo.

Maka dari itu, Tuhan saja sudah menyediakan berjuta-juta inspirasi yang siap untuk kita tumpahkan. Bukan hanya sekadar dipandang atau dipikirkan. Tapi silahkan ditumpahkan, silahkan dipatahkan, silahkan diselami dengan fikiran dan gerakan gemulai di atas sebuah kertas.

Refresh Otak

Aaaaaaaaaaaaaaahh, ternyata sudah lama sekali ya saya tidak nyantolin tulisan-tulisan saya di blog? Wah, sebenarnya, jika boleh jujur, banyak sekali pikiran, ide dan perasaan yang sangat ingin saya tuangkan dalam bentuk tulisan, tapi endingnya ternyata sangat menyedihkan dan hanya berakhir pada kolam mimpi. Nyiahahahaaa... saya bilang dulu juga apa? Kata pelatih nulis saya, orang menulis itu seperti berenang. Jika nggak langsung 'nyemplung',  ya nggak basah. Iya apa iya?

Oke, ngomongin dunia tulis menulis emang nggak akan ada habisnya. Artinya, adaaaaaaa aja yang perlu dan harus dibicarain. Tentang menulis di tempat yang baru dan berbeda misalnya, bisa kita masukkan dalam kategori kegiatan yang bisa menimbulkan stimulus berupa semangat untuk meciptakan karya tulis. Suasana yang berbeda akan melahirkan suatu ide yang fresh juga dalam otak kita. Karna sebelumnya otak kita pernah mengalami keadaan fresh, lalu loyo dan pada saat tertentu menjadi fresh kembali, maka keadaan untuk mencapai kefreshan lagi tersebut bisa kita namakan sebagai kegiatan me-refresh.

Kita menulis, kenapa yang di bahas merefresh otak? Bukannya merefresh tulisan? Ya. Karena ternayata selalu saja menulis itu membutuhkan peran otak yang aktif berkerja. Kita, mempunyai kekuatan sebesar apapun, keinginan sepanjang apapun, jika otak atau pikiran kita nggak nggathuk, hasilnya akan sia-sia belaka. Berbentuk tulisanpun, pasti hasil akhirnya akan ambur adul. Konklusinya? Itu bukan tulisan, tapi hanya deretan kata tanpa makna, tanpa maksud tujuan.

Nah, itulah mengapa untuk edisi kali ini, setelah saya terminal terlalu lama dalam menulis, dan ternyata setelah mendapat tempat baru saya bisa menulis, saya pun menulis dan membicarakannya. Bahwa menulis itu bukan sesuatu yang mudah, tapi bukan juga termasuk sesuatu yang menakutkan dan sesulit memotong tali baja. Intinya, jangan terlalu meremehkan, juga jangan terlalu menganggap sulit. Yang harus kita lakukan hanyalah mewujudkan suatu keadaan dimana otak kita mau untuk bekerja lebih kreatif lagi. Selamat mencoba!

Sidoarjo, 24 Juni 2013
Malam pertama di tempat pengabdian

Potret Mahasiswa Miskin

"Kau mau ini? Aku beri harga grosirlah buat kau. Kau kan langgananku. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?"
Anda merasa menjadi orang miskin? Atau merasa menjadi orang yang mata duitan? Jika iya, maka tidak menutup kemungkinan anda akan selalu terngiang-ngiang dengan kata-kata di atas seandainya ada seorang teman atau rekan kerja yang menyampaikan maksud pesan yang kurang lebih berbunyi seperti kalimat di atas. Apalagi jika di ikuti embel-embel menggiurkan seperti ini;
"Buat kau, tak apalah bayar kapan-kapan saja. Barang itu sudah aku pakai beberapa kali, tapi kondisi masih fit dan mulus. Daripada aku yang punya tapi tidak aku pakai, lebih baik kau beli sajalah. Aku tak menuntutmu untuk membayarnya kapan. Silahkan jika kau ingin membayarnya jika ada uang nanti."
Cess. Bagaikan kejatuhan anugerah. Terkadang mungkin anda berfikir jika tawaran itu berupa bantuan dari Tuhan yang Ia berikan melalui perantara orang tersebut. Saat itu, mungkin anda juga akan berfikir jika orang yang menawari anda 'barang' itu merupakan malaikat kiriman Tuhan untuk anda. Sedikit lebay memang, tapi siapa bisa menyana jika orang miskin dan orang mata duitan terkadang memang gampang diterbangkan, juga di lebaykan. Mereka mempunyai dua kesamaan yang sangat kontras, yakni mempunyai ketidakstabilan pengharapan.
Tapi, meskipun keduanya mempunyai banyak kesamaan, kali ini saya akan mencoba untuk membahas salah satunya, yaitu orang miskin. Atau lebih spesifiknya mahasiswa miskin. Nyatanya potret mahasiswa jauh dari hasil jepretan kamera-kamera sutradara yang tiap jam ditayangkan di dtasiun televisi kesayangan anda. Seperti yang telah kita ketahui, yang mereka sajikan hanyalah bentuk kemewahan dan proses berura-hura. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi pola pandang masyarakat awam, yang tidak tahu-menahu tentang dunia perkuliahan. Mereka -masyarakat awam- menerapkan doktrin bahwa mahasiswa itu pasti kaya. Jadi jika orang miskin seperti mereka, jelas tidak bisa mengenyam bangku kuliah.
Cukup. Berbicara tentang kehidupan sosial memang sulit di spesifikasi layaknya tujuan awal. Karena sifatnya yang kompleks dan saling berhubungan tentunya. Untuk menghindari kebiasan, maka saya hanya akan membahas inti dari tujuan saya menulis seperti yanag telah tertera pada contoh di atas.
Kembali kepada sabab-musabab mengapa mahasiswa miskin mempunyai pengharapan yan tidak stabil. Kita ketahui bahwa semua orang yang hidup normal tentunya berada pada misi yang sama, yaitu berusaha untuk melengkapi kebutuhannya. Orang miskin adalah orang yang tergolong sulit dalam memenuhi apa yang memang butuh dipenuhi tersebut. Jadi tidaklah menjadi suatu yang menghayalkan jika mereka -mahasiswa miskin- sedikit mengandalkan bantuan dari orang lain.
Akan tetapi seperti contoh di atas misalnya. Ketika setiap orang menyadari bahwa pengharapan orang miskin itu jauh lebih labil daripada orang kaya, maka cerdas pulalah orang yang menjadikan orang miskin sebagai sasaran empuk mereka. Karena mereka -orang borju- menyadari jika tawarannya akan mulus dan licin jika digelindingkan ke arah kemiskinan.
Tapi kepada anda yang merasa miskin, coba fikirkan terlebih dahulu aspek-aspek tersembunyi yang terkadang memang sengaja disembunyikan oleh orang-orang di atas anda. Seperti contoh di atas misalnya; Analisa bisa kita layangkan juga pada kasus di atas. Anda sebagai pihak konsumtor tidak akan pernah menyadari akan danya ke'error'an dalam barang yang ditawarkan oleh orang atau rekan kerja anda tersebut. Penyesalan dan runtukan, seperti hukum yang telah terpakukan, akan selalu datang di akhir cerita.
Tidak, saya sama sekali tidak bermaksud mengajak anda untuk berburuk sangka terhadap tawaran baik seseorang kepada anda. Tapi sebagai orang yang menyadari akan kesulitan diri sendiri, seharusnya kita memang perlu lebih ketat mengontrol diri untuh hal-hal semacam ini. Satu pelajaran yang mungkin bisa anda petik, yakni; jika kita meminjam sesuatu untuk kebutuhan produksi, maka jalan keluar akan segeraanda temukan. Tapi jika anda meminjam sesuatu untuk hanya dijadikan sebagai kebutuhan konsumsi, maka prediksi akhir juga dapat kita terka, keterbalikan dari opsi yang pertama tentunya.
Perlu diketahui juga, bahwa usia mahasiswa adalah merupakan usia-usia peralihan menuju usia dewasa yang sangat rentan terhadap sesuatu yang di terimanya. Mereka sering berpandangan jika mereka telah dewasa dalam mengambil keputusan. Tapi nyatanya bayang-bayang keremajan masih juga bergelayut. Itulah mengapa pengspesifikasian saya tujukan kepada mahasiswa. Mengingat pula, ternyata banyak sekali mahasiswa yang terjebak dalam kasus-kasus seperti ini.
Jadi untuk anda para pembaca, anda hanya perlu lebih banyak berfikir sebelum berrtindak. Usahakan berfikir cepat dan tepat. Jika belum bisa, kita hanya perlu belajar dan membiasakannya. Jadikan pengalaman anda, juga pengalaman orang lain sebagai referensi untuk melangkah selanjutnya. Selamat mencoba!

Tips Agar Masakan Terasa Enak

Mungkin anda mengira jika yang akan tersaji dalam tulisan saya kali ini adalah cara-cara meracik bumbu dengan segala aksesoris dan prosedurnya. Seperti 3 siung bawang merah, satu sendok merica bubuk, atau satu piring penuh penyedap makanan, yang biasanya ditambahkan dengan tujuan untuk mempersedap makanan di lidah, bukan. Anda salah besar.

Sore itu, saya sedang berkemas setelah mengadakan pelatihan. Sebagai manager pelatihan, tidak etis rasanya jika saya pulang mendahului anggota-anggota tim saya. Secara saya bekerja, membingungkan tetek-bengek masalah yang ada dan berlangsung selama pelatihan, akhirnya saya lupa dengan kewajiban saya mengurusi perut saya yang sebenarnya telah meronta-ronta.

Sekitar jam 4 sore setelah pelatihan selesai, ternyata ada nasi kotak yang tersisa yang akhirnya saya santap ditempat. Setelah saya buka, menunya cukup istimewa; nasi putih, sayur, dilengkapi dengan ayam kecap bumbu pedas. Secara umum, jelas masakan tersebut terasa sangat enak di lidah setiap orang, kecuali orang yang memang tidak suka dengan menu tersebut, contohnya saya. Tapi dengan lahap, saya sukses memindahkan isi kotak makanan tersebut ke dalam perut saya dengan jangka waktu sesingkat-singkatnya. Woow. Amazing.

Setelah hanya tinggal satu suap saja di tangan saya, saya baru menyadari jika saya makan dengan jangka waktu yang tidak lumrah. Istilahnya waktu yang saya pergunakan untuk makan 3X lebih cepat dari waktu yang biasanya saya pergunakan di saat-saat normal. Apalagi dengan porsi jumbo plus menu yang sebenarnya tidak saya sukai tersebut. Benar-benar SS alias Super Sekali.

Serampungnya meneguk segelas air mineral yang sebelumnya sudah saya siapkan disamping saya, saya sedikit berfikir dan merenung sambil tersenyum. Dari proses yang melelahkan dan melaparkan pada hari itu, saya mendapatkan ilham berupa teori baru yang nantinya akan menjadikan suatu pelajaran berharga bagi saya. Saya tersenyum simpul dan melanjutkan perjalanan saya pulang.

Sesampainya di rumah, saya bertanya kepada teman sekamar saya;
"Mbak, tau nggak resep masakan enak itu yang seperti apa?" saya memulai percakapan.
"Ndak, wong masak saja saya ndak bisa kok"
"Mau ndak saya kasi tau resepnya apa?"
"Memangnya apa?"
"KELAPARAN" 
Dan teman kamipun bersama-sama menyunggingkan seulas senyuman.

Dekapan Hujan

Aku memang membenci hujan. Tapi terkadang, rintikannya justru sangat membantuku untuk menumpahkan golak rasa yang telah kurangkum dalam air mata. Suatu kesamaan yang sangat kontras dan serasi; air hujan dan air mata. Memang, terkadang air mata kerap bersikap manja dan tak mau sendiri. Dan teman yang sangat ia inginkan sebagai pendamping adalah rintik hujan. Sedu-sedan mungkin akan menemani gerimis tipis disuatu saat, tapi kelebatan hujan juga akan mengundang tangis yang semakin keras.

Aku sering memaki hujan, ketika aku ingin bercumbu dengan kerlipan senja disuatu sore. Tapi terkadang aku justru memanggil hujan untuk menemani kekosongan hati yang beranjak meluas.  Hujan memang memperparah kekeruhan hati, tapi juga akan mempercepat datangnya antiklimaks yang akan menyusul setelahnya. Aku tahu, seiring dengan meredanya desingan jarum hujan, kesesakan dadapun akan melonggar juga.

Seperti ini, ketika tangisan tak lagi menjadi keinginan. Ketika tangisan tak lagi berkedudukan sebagai pengisi waktu luang. Seperti ini, ketika tangisan nyatanya telah menjadi sesuatu yang lebih intim, yaitu kebutuhan. Ketika luapan emosi tak lagi mempunyai celah selain melalui keenceran air yang terkucur dari sudut mata. Dan seperti ini, satu-satunya alunan suara yang dapat dijadikan sebagai musikalisasi tangis yang sarat makna adalah hujan. Sekali lagi hujan.

Ketika bercinta dengan hujan, aliran beningnya akan sedikit mendinginkan lelehan air mata yang mendidih. Ketika bercumbu dengan hujan, dekapannya akan menjadi selimut lembab tahan api. Ketika memeluk hujan, tusukannya akan memperkuat emosi yang mengambang tak jelas arah. Seperti itu, aku tak lagi membutuhkan payung pembatas aku dengan hujanku, atau sekedar mantel hujan yang justru akan membuatku pengap ditengah kedinginan. Seperti itu, aku ingin menyatu dengan hujan.

Akhirnya kudongakkan wajahku ke atas. Menantang hujan dengan senjata cucuran lahar panas dari sudut runcingan mata. Kubuka kelopaknya, dan kubiarkan keduanya beradu dalam arena bundaran coklat iris dan pupil yang beku memenjara. Kubisikkan kata selamat datang untuk rintiknya, dan kubiarkan mereka melakukan tugasnya.....

Susahnya Mempopulerkan Tulisan

        Apa yang menjadi tolak ukur kepuasan penulis akan tulisannya? Orang yang gemar menumpahkan apa yang berkecamuk dalam otaknya dalam sebuah tulisan, baik fiksi maupun non fiksi, akan mempunyai keinginan-keinginan sebagai bentuk kebutuhan psikologisnya akan tulisan yang dibuatnya. Orang yang berbicara kepada orang lain, pastinya ingin agara omongannya didengarkan, dihayati, dan diperhatikan. Sama juga dengan menulis. Penulis juga menginginkan agar ada -atau bahkan banyak- orang yang membaca, untuk selanjutnya memahami dan merenungkan pesan yang terkandung dalam tulisan yang dibacanya. Jika tulisan-tulisan yang di posting di blog misalnya, ada beberapa tolak ukur keinginan si penulis akan tulisannya. Diantaranya yaitu;

        Yang pertama, adalah hal yang sangat mendasar yang menjadi tujuan untuk menulis, yakni keinginan agar tulisannya dibaca orang lain. Sekali lagi karena menulis merupakan suatu alternatif lain untuk berkomunikasi dengan pembaca dengan tidak menggunakan fasilitas suara atau bahasa tubuh. Gaya menulis dan genre tulisan akan membantu pembaca untuk lebih memahami diri penulis. Artinya, semakin banyak yang membaca tulisan penulis, maka hal itu akan berbanding lurus dengan kepuasan sang penulis.

        Yang kedua, adalah keinginan untuk bisa menorehkan kesan pada hati pembaca. Penulis, akan merasa semakin senang ketika telah berhasil menyampaikan maksud dari tulisannya kepada setiap pembaca tulisannya. Jika tulisan itu diposting di blog, biasanya dicirikan dengan adanya berbagai komentar yang berisi kritik atau komentar pada tulisan yang ia posting. Karena untuk mengkritik dan mengomentari sebuah tulisan, paling tidak kritikus harus tahu dahulu pesan yang ada dalam tulisan yang akan dikritiknya. Atau setidaknya, satu like saja akan cukup bica memunculkan senyum lebar pagi penulis yang menuliskannya.

        Inti dari keinginan pertama dan kedua adalah terjalinnya suatu komunikasi yang sehat antara penulis dan pembaca. Dan untuk mencapainya, tentu sangat sulit. Tidak serta merta menulis, lalu diposting, dan selanjutnya akan dibaca banyak orang, bahkan akan disebarluaskan oleh setiap pembacanya, tidak. Tidak secepat itu. Banyak diantara penulis-penulis yang awalnya tulisan-tulisannya hanya berakhir pada archive tanpa adanya penengok, pembaca, apalagi pengkritik.

        Patinya tulisan yang akan dipublikasi haruslah tulisan yang baik, menarik dan kreatif. Dan untuk memenuhi syarat-syarat tersebut jelas tidak sulit. Perlu adanya latihan praktek langsung yang selanjutnya akan menjadikan tulisannya menjadi populer dan sering diperbincangkan oleh pembaca. Selain latihan secara intensif dan kontinyu, perlu juga adanya usaha dan upaya mengenalkan tulisan kepada pembaca. Misalnya sering membagikan artikel di jejaring sosial yang dimiliki, baik facebook, twitter, atau jejaring sosial yang lainnya. Cara lain yang bisa diupayakan adalah juga sering membaca dan mengomentari karya blogger lain agar tercipta suatu timbal balik yang baik.
       

Nugas Tanpa Batas


        Hal yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa adalah tugas. Tugas selalu dianggap sebagai beban yang harus segera di hilangkan. Karena tugas, terkadang mahasiswa bisa terpengaruh dalam hal fisik (sakit), ataupun masalah psikis (galau, jenuh) dan sebagainya. Efek-efk tersebut biasanya akan cenderung terlihat nyata ketika musim-musim ujian telah mendekat. Secara dalam satu semester bukan hanya satu-dua mata kuliah saja yang ditempun, maka secara otomatis tugaspun saling berkejaran meminta hak.

        Berbicara tentang tugas, nyatanya setiap orang terlalu terpaku dalam bidang akademik saja. yang dinamakan tugas, adalah perintah dari guru/dosen/atasan yang harus dijalankan oleh seseorang. Hal ini dikaitkan dengan adanya konsekuensi yang harus diterima ketika tugas tak sesuai dengan harapan dan kemauan si pemberi tugas. Jika konsekuensi tidak nyata, maka kita tidak menganggapnya sebagai tugas.

        SALAH BESAR. Jika kita mau untuk beranjak dan memaksa otak kita untuk sedikit mengedarkan pandangan kesamping kanan-kiri dan tidak hanya terpaku pada hal-hal yang tepat berada di depan kita, maka kita akan dihadapkan pada fenomena-fenomena yang kesemuanya berhubungan langsung dengan tugas. Jangan lantas dianggap jika tugas hanya berkisar dalam dunia formal saja, maka dalam hiduppun, kita telah menjalankan misi sebuah tugas dengan konsekuensi nyata namun tersamarkan oleh ketidakpekaan kita.

        Tugas perkembangan misalnya. Pada seumuran mahasiswa, baik secara fisik dan psikis, setiap dari invidu mengemban tugas perkembangannya. perkembangan biologis, perkembangan cara berfikir, bersosialisasi, dan perkembangan-perkembangan lainnya. Konsekuensi? Pasti ada. Ketika tidak dapat memenuhi tugas untuk bersosialisasi sesuai dengan umur misalnya, tidak menutup kemungkinan akan adanya masalah individu dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Sebenarnya hal-hal tersebut telah sangatlah umum. Karena keumumannya, maka kita telah menelantarkan suseautu yang sebenarnya sangat intim dengan hidup kita.

        Jadi, ketika seorang individu mengeluh karena banyaknya tugas kuliah yang diberikan oleh dosen pengampunya, jelas wajar. Tidak ada tugas yang tidak wajar. Terkadang tugas memang dijadikan sebagai alibi untuk absen dalam mengerjakan sesuatu. Tapi itulah adanya. Ya. Anda adalah mahasiswa. Mahasiswa dengan tugas adalah suatu jodoh. Gampangnya, jika anda mahasiswa, maka anda harus berteman dengan tugas. Ketika anda harus mengerjakan sesuatu diluar dunia akademik, anda tetap mengemban tugas kuliah. dan tugas kuliah jelas tidak bisa dijadikan sebagai hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hati.

        So, tetap jalani tugas-tugas anda sesuai list-list yang harus anda tempuh. Semangat :)

Kepadamu Ibu, Kuselipkan Doa dengan Caraku Sendiri


Padamu Ibu,
Kukirimkan berlajur doa untuk kesejahteraan dan kesehatanmu.

Padamu Ibu,
Kusisipkan gumpalan cinta pembuncah perasaan hati yang tak bertepi.

Padamu Ibu,
Kugariskan lonjoran merah tanda kepentingan akan dirimu selalu ada dan ternomorpentingkan.

Tapi Ibu,
Padamu telah kugoreskan pula koyakan luka oleh pisau kedurhakaan.
Tidak Ibu,
Bukan karena aku membencimu dan ingin menyakiti hati lembutmu,
Tapi Ibu,
Sadarkah engkau jika apa yang kau inginkan justru adalah sesuatu yang tak kuingini?

Ingatkan Bu?
Ketika sesuatu yang kita inginkan berwujud hal yang sama, tetap saja aku menorehkan bintikan luka di hatimu.
Bukan karena apa, Bu.
Aku mempunyai cara berbeda untuk melangkah, yang kerap tak sama dengan cara yang ditawarkan olehmu.

Tapi Ibu,
Betapapun sakitnya sengatan nanah yang ibu derita, Ibu tetap mengalirkan doa kepadaku, kan?
Karna hal-hal semacam itu telah menjadi hukum alam kan Bu?

Padamu Ibu,
Kuhidangkan sepenggal kisah sulit yang memuramkan sinar wajahmu.
Kuberikan siluet cerita yang menggoncangkan jiwa hingga datangnya masa dengan beribu liter air tangis.
Kubeberkan gambaran kenyataan berselubung kabut sesak sedingin salju.

Kepadamu Ibu,
Kuselipkan doa dengan caraku sendiri.