Global Var

Hanya bisa menulis itu..

Hanya dengan bisa menulis itu, aku telah berhasil mencungkil secuil kerikil pengganjal hati yang kerap membuatku menangis karna sakit.
Hanya dengan bisa menghasilkan satu tulisan itu, aku telah sekaligus menitipkan segaris rindu yang terkadang kututupi dengan kain kaca agar tak terlihat terlalu jelas olehmu.
Hanya dengan bisa menulis itu, aku telah jua mendongkel kekerasan pikiran yang tak pernah mengenal rasa hati yang penuh kasih dan halus.
Hanya dengan bisa menulis itu, terkadang aku bisa sedikit membohongi hati yang selalu meminta untuk bersua dengan hatimu. Sedangkan aku, bisa apa?

Teman adalah Orang yang Datang ketika Merasa Butuh Saja

Hai para pembaca sekalian! Sudah sekitar 10 hari saya tidak menyapa anda semua. Sedikit curcol, hidup terlalu datar memang sulit membangkitkan motivasi untuk menulis. Ide-ide juga sering berlarian tidak tentu arah. Walhasil, aktivitas menulis menjadi pasif dan tidak produktif. Menurut pengalaman penulis blog ini, ide-ide menulis akan sering bermunculan jika kelima indra kita peka terhadap beribu, bahkan berjuta-juta stimulus yang 'nyrempet' keseharian kita. Nah yang jadi masalah, bagaimana caranya memekakan indra?

Kembali pada Laptop. Anda semua mempunyai teman bukan? Jika anda merasa memiliki banyak teman, tentunya anda juga pernah merasa kehilangan seorang teman. Jika dipikir-pikir, teman itu layaknya pembeli, dan kita sebagai penjualnya. Pembeli akan datang ketika ia merasa memiliki perlu kepada penjual. Perlu untuk membeli sesuatu yang anda jual misalnya.

Coba kita kembalikan ingatan kita pada saat dimana kita kehilangan seorang teman yang kita sayangi. Kerap kita mengucapkan kalimat seperti ini, "Dia cuma mau datang (berteman) ketika ada butuhnya saja, jika tidak ada butuhnya ya pergi." Kalimat tersebut terdengar sedikit sadis dan terlalu menyalahkan sang teman yang sedang pergi membelakangi kita. Jika kita melihat dari sisi si sakit hati, maka yang akan kita lihat adalah suatu bentuk pemahaman jika selayaknya teman haruslah ada, baik saat ia membutuhkan sesuatu maupun tidak.

Nah, bagi pembaca yang kebetulan pernah mengalami hal ini, mari kita ulas suatu alasan kepergian teman yang terkesan kejam itu melalui logika yang sehat.

Berhubungan dengan kata Butuh, kita tahu dan sangat faham jika setiap orang, setiap makhlukNya mempunyai suatu kebutuhan terhadap dunia diluar dirinya. Kata 'butuh' biasanya kita jodohkan dengan kata 'ingin'. Misalnya, "Saya ingin membeli gula-gula,"  akan berbeda maknanya dengan kata "Saya butuh membeli gula-gula." Artinya, kebutuhan adalah sesuatu yang memang penting untuk dipenuhi, sedangkan keinginan sifatnya masih sekunder dan bisa di pending. Tapi siapa nyana jika ternyata memenuhi keinginan juga merupakan suatu bentuk memenuhi kebutuhan akan rasa ingin itu sendiri. Sebenarnya ada yang luput dari bahasan ini, yakni kebutuhan bukan hanya berkisar pada kebutuhan materialistik saja, tapi juga psikologis manusia.

Setiap manusia membutuhkan seorang teman. Jika anda pernah belajar ilmu sosial, manusia merupakan makhluk sosial yang tak bisa lepas dari manusia, bahkan makhluk yang lainnya. Inti dari pembahasan di atas adalah bahwa kebutuhan memang benar-benar penting untuk dipenuhi.

Sekarang hubungannya dengan pertemanan. Anda pikir, untuk apa anda berteman dengan orang yang anda anggap cocok untuk anda jadikan sebagai teman? Anda pikir, untuk apa mereka mau dan bersedia berteman dengan anda? Sekarang anda pikir lagi, mengapa salah satu dari mereka tiba-tiba menjauh dari anda? Mengapa tiba-tiba mereka menjadi musuh anda? Atau bahkan mengapa mereka bisa tiba-tiba tidak menjadi siapa-siapa dalam hidup anda? Jawabannya hanya ada satu, Mereka berteman dengan anda ketika mereka butuh, dan meninggalkan anda ketika tidak membutuhkan anda lagi.

Masih ingat dengan bahasan tentang kebutuhan psikologis? Dalam pertemanan, tidak dapat disangkal jika kita membutuhkan manusia atau objek lain untuk kita jadikan sebagai teman. Kita butuh teman untuk berbagi, mendengarkan ucapan kita, mendukung kita, dan lain sebagainya. Dan pertemanan dengan manusia akan berjalan hanya jika kedua belah pihak merasa masih membutuhkan kita. Pada saat mereka sudah tidak membutuhkan kita, baik sebagai teman bicara atau semacamnya, jelas mereka akan meninggalkan kita. Semua terasa bersifat alamiah bukan?

Sebenarnya dalam berteman, setidaknya dalam hal ini, kita hanya butuh untuk mempertahankan apa yang teman kita butuhkan pada diri kita tetap melekat pada kita. Kita sebagai orang yang enak diajak bicara misalnya, maka untuk menjaga agar teman kita tidak berlari adalah menjaga sifat enak diajak bicara tersebut tetap berada dan menjadi identitas kita. Maka, selama kita memiliki sifat tersebut, teman akan tetap merasa butuh terhadap kita, dan tidak akan berlari menjauhi kita.

Surat Cinta untukmu, Kekasih

Pernah terlintas untuk menuliskan rasa cintaku kepadamu, Kekasih. Tapi aku bukan manusia dengan sejuta kosa kata yang pantas untuk menggambarkan golakan rasa pada diri ini. Entah. Di sini, di dada ini, ada bermacam gejolak yang tak kuketahui maknanya, ada beribu warna yang tak kuketahui kepastian dan kejelasannya. Aku tak bisa menuliskan semuanya, tapi aku bisa merasakannya, Kekasih. Percayalah!

Kekasih, rasa cinta yang aku derita tidak ubahnya dengan kesakitan dan keperihan, walau terkadang berwujud kebahagiaan pula. Kekasih, jangan pernah menuliskan sesuatu yang tak pernah aku berikan kepadamu, itu yang aku mau. Tapi, bagaimana kau tahu apa yang aku mau jika aku tak mengatakannya kepadamu? Bukankah begitu, Kekasih?

Kekasih, mungkin yang kau lihat saat ini adalah suatu bentuk pemberontakan atas dasar kebencianku kepadamu. Taukah kau, Kekasih, aku hanya terlalu bodoh untuk mengekspresikan rasa cintaku. Aku hanya terlalu tak tahu bagaimana caranya mencintai dengan benar, dan masih banyak lagi.

Kekasih, dengan surat ini, aku ingin suatu hari kelak kau tahu apa yang sebenarnya sedang aku derita. Melalui surat kecil ini, aku ingin suatu hari kau mengerti apa yang selama ini aku rasa. Melalui surat usang ini, aku ingin kau tahu jika wujud dari rasa cintaku selama ini adalah kepalsuan. Aku ingin kau tahu jika aku telah terkurung oleh genangan hitam sekelam kopi malam.

Aku, Kau, dan Kita

Kawan, kita bisa berteman hanya ketika kita bisa menyisipkan toleransi di antara posisi kita yang berbeda. Kau tahu kawan, Aku bukanlah Kau, Kau juga bukan Aku. Kita bukan Aku atau Kau. Kita adalah Kita. Aku adalah Aku. Dan kau adalah Kau. 

Kawan, ketika aku adalah Aku, aku ada dengan segala apa yang melekat pada diriku. Diriku satu, dengan segala tetek-bengek kelebihan serta kekuranganku. Aku tak seperti Kau, Kawan. Aku berbeda dengan Kau. Terkadang ada suatu kesamaan dalam diri kita. Tapi kesamaan itu tak selanjutnya bisa mengubah Aku menjadi Kau, atau sebaliknya. Aku tetap Aku, dan kau tetap Kau. Begitu juga keadaanmu ketika aku membahas kau adalah Kau.

Kawan, ketika kita tidak bisa berteman, itu artinya ada kondisi dimana kita tidak dapat lagi memposisikan toleransi di antara kita untuk salaing mengerti. Ketika aku tak bisa berteman denganmu, berarti aku tak bisa menerima perbedaan yang membentang di antara kita. Sesuatu seperti itu, Kawan, jangan kau sebut sebagai pertemanan. Itu bukan pertemanan, tapi permusuhan.

Tapi Kawan, ketika kita telah bisa menerima, menghormati dan menghargai wujud perbedaan diantara kita, ketika kita telah berhasil membangun jembatan kepercayaan untuk tetap saling bersama dalam keberbedaan, itulah Kita dalam pertemanan.

Kawan, dalam suatu ikatan pertemanan, ada keselarasan Aku dan Kau yang biasa mereka sebut sebagai Kita. Tali 'kita' itu terdiri atas dua kubu oknum yang berbeda; Aku dan Kau. Dan kita tak lagi sebagai Aku dan Kau.

Kawan, kita tak lagi berwujud Aku dan Aau saat bersama. Diri yang kita bawa adalah Aku dan Kau, tapi ketika kita bersedia untuk mengaitkannya dengan rajutan yang unik nan menggairahkan, sebutlah kita sebagai Kita. Dan yang harus selalu kau ingat, Kawan, bahwa Aku, Kau, dan Kita adalah berbeda...

Memilih Vs Dipilih

Pernah menonton film berjudul Perahu Kertas? Jika pernah, apakah masih ingat dengan perkataan Ludhe (Elyza Mulachela), keponakan Pak Wayan yang berhasil mengembalikan semangat Keenan (Adipati Dolken) yang sempat kendor? Bagi yang masih ingat, mari kita ulas salah satu kalimat yang diucapkan oleh Ludhe tersebut. Dan untuk pembaca yang belum tahu, ada baiknya saya ulas dahulu perkataan yang saya maksudkan tersebut.

Saat Keenan memutuskan untuk memilih Ludhe sebagai pendamping hidupnya, Ludhe berkata pada Keenan, "Cinta itu dipilih, bukan memilih." Latar belakang terjadinya percakapan ini adalah karena Ludhe tahu jika sebenarnya Keenan tengah jatuh cinta kepada Kugy (Maudy Ayunda). Sebenarnya kalimat tersebut bukan serta merta keluar dari fikiran Ludhe, tapi ia menyadur kalimat tersebut dari perkataan pakdhenya, Pak Wayan, yang juga mempunyai latar belakang kehidupan cinta yang suram.

Lalu, hal apa yang selayaknya dibahas dalam ulasan kali ini? Iseng-iseng diwaktu senggang, saya pernah bertanya kepada teman yang kebetulan berada didekat saya. Pertanyaan saya simple: "Mengapa cinta itu dipilih? bukan memilih?" dan jawabannya pasti beragam. Setiap manusia mempunyai persepsi yang berbeda tentang semua hal yang ditangkapnya, begitu pula dalam menanggapi pernyataan ini. Dan yang akan saya paparkan kali ini bukanlah hasil riset saya tentang simpulan dari 'wawancara' saya, tapi yang akan saya ulas dalam tulisan kali ini adalah pandangan saya sendiri tentang pernyataan tersebut.

Mengapa cinta itu dipilih? Dalam kasus film tersebut menegaskan bahwa, Keenan telah memilih Ludhe sebagai pendamping hidupnya. Menurut Ludhe, yang dialami oleh Keenan itu bukanlah cinta. Ludhe menegaskan bahwa cinta itu dipilih, maka menurut pandangan Ludhe, yang dinamakan cinta adalah ketika Keenan bersama dengan orang yang memilih Keenan. Artinya, Keenan berada pada posisi dipilih, bukan memilih. Memilih disini agaknya bukan dalam hal pilihan secara logika dan pikiran, akan tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah memilih dalam hal hati dan perasaan.

Kiranya dalam membahas masalah ini, kita perlu menengok ulang apa hakikat hidup yang diinginkan manusia. Manusia pada dasarnya senang berada dalam suasana hati yang baik. Suasana hati yang baik akan terciipta jika lingkungan fisik dan sosial yang melingkupi manusia tersebut sesuai dengan harapan si empunya keinginan, atau paling tidak, tidak berseberangan. 

Untuk lebih memperjelas maksud dari paparan ini, kita juga harus mengulas tentang sifat dan sikap dari pecinta. Orang yang mencintai sesuatu, akan mengusahakan hal-hal terbaik dan yang dilakukan agar orang atau objek yang di cintai tersebut bahagia. Sebagai contoh, orang yang mencintai hp barunya, maka orang tersebut akan mengusahakan segala sesuatu agar handphonenya tetap terjaga kemulusannya. Begitu juga dengan manusia, seseorang yang mencintai lawan jenisnya, akan mengusahakan sesuatu yang terbaik demi membuat sang kekasih merasa nyaman berada disisinya, dan bahagia bersamanya.

Sekarang, kita kembali ke Laptop, Mengapa cinta dipilih? Logikanya, ketika kita dipilih oleh seseorang, maka otomastis orang (hati) yang memilih kita itu adalah hati yang benar-benar telah mencintai kita. Maka ketika kita dipilih, istilahnya masa depan kebahagiaan kita telah terjamin pada tangan orang yang mencintai kita tersebut. Seperti ulasan di atas, orang tersebut akan mengusahakan kebhagiaan kita bersamanya.

Menilik logika yang telah dipaparkan di atas, maka kita akan bisa membaca suatu kondisi bagaimana keadaan kita ketika kita mengartikan bahwa cinta adalam memilih. Kata cinta itu dipilih, juga mengajarkan suatu arti akan perlunya rasa sabar dan menerima pasangan hidup yang mencintai kita. Artinya, lebih baik kita memaksa diri sendiri untuk menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, daripada memaksa orang lain (yang kita cintai).

Menangkap 'Keburukan' untuk Kebaikan


Orang tua merupakan media paling efektif dalam mengajarkan sesuatu pada anak-anaknya, terumatama pelajaran-pelajaran non formal seperti etika, tata krama kehidupan keseharian dan lain sebagainya. Telah dimuat dalam postingan sebelumnya yang berjudul Bentuk-Bentuk Pola Asuh Orang Tua terhadap Anak bahwa, dalam mendidik anak, ada kalanya orang tua bersikap otoriter, permisif ataupun demokratis.

Anak, merupakan manusia yang berada dalam kondisi perkembangan, baik perkembangan fisik, psikis, pola pikir maupun proses penemuan jati diri. Jika harus menengok ke belakang, maka akan ditemukan adanya suatu kekosongan memori atau pengalaman yang biasanya akan dijadikan sebagai batu pijak anak. Oleh karena itu, disinilah tempat orang tua seharusnya berdiri. Dalam artian, orang tua wajib memberikan pelatihan berupa teori sebagai bekal pemahaman kepada anak, juga bekal praktek jika memang memungkinkan. Pantauan dan motivasi pastinya tidak boleh sampai terputus untuk terus mendorong perkembangan anak.

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter, biasanya adalah orang tua yang mengalami krisis kepercayaan kepada anak. Mereka selalu mengkhawatirkan kemampuan anak, sehingga membuat semua keputusan sebagai jalan yang harus dilalui oleh anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk urun rembug. Pola seperti ini kurang baik diterapkan meskipun yang diajarkan orang tua terhadap anak merupakan suatu kebaikan secara keseluruhan. Kebanyakan orang tua dalam pola ini sangat mengkhawatirkan ketidakmampuan anak dalam memfilter kejadian-kejadian buruk. Akibatnya, tidak jarang anak mengalami suatu fase keterpaksaan dalam menjalankan kehidupannya, dan kurang bisa menikmati kegiatan-kegiatan yang sedang dijalaninya.

Berbeda dengan pola asuh otoriter, pola asuh yang sangat permisif juga sangat tidak dianjurkan pada proses pengasuhan anak. Jika pola otoriter merupakan suatu krisis kepercayaan, maka pola asuh permisif ini terbilang terlalu percaya kepada anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini biasanya kurang tau -atau bahkan tidak ingin tahu- tentang kebutuhan dan kondisi anak. Sehingga anak tidak mempunyai tempat berpijak dan akhirnya mencari pijakan dengan tanpa pantauan dan arahan dari orang tua. Dan tak jarang pula pijakan yang digunakan adalah pijakan yang salah menurut norma.

Nah, sekarang, pola apa yang sebaiknya diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan serta kondisi anak? Ya, adalah pola asuh demokratis yang seharusnya diterapkan orang tua dalam mengasuh anak. Melihat masalah-masalah yang dihadapi oleh anak di atas, bahwa anak membutuhkan bantuan dalam berkembang, maka keteribatan anak dalam memutuskan sesuatu juga sangat dibutuhkan.

Analogikan pola asuh ini sebagai krupuk sebelum di goreng. Umpamakan krupuk sebagai anak, minyak sebagai lingkungan dan dunia luar, serta sinar matahari sebagai alat untuk menggembleng anak. Biasanya sebelum di goreng dengan minyak panas, krupuk di jemr dibawah terik matahari agar dapat mengembang secara sempurna. Istilah jawa menyebutkan kata kebrangas untuk kasus ini. Begitu juga dengan anak, anak tidak serta merta harus selalu dikenalkan pada hal-hal yang positif saja. Sebaiknya anak dikenalkan pula pada hal-hal yang negatif demi memberikan contoh agar hal-hal tersebut sebisa mungkin dihindari. Karena untuk mengaktualisasikan diri, anak membutuhkan sinar matahari sebagai media penggembleng.

Manfaatnya ya seperti krupuk tadi, ketika anak telah benar-benar bertemu dengan minyak goreng panas (dunia luar), istilahnya anak tidak kebrangas dan dapat mengaktualisasasikan dirinya dengan benar. Potensi yang dimilikinya akan dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan dan bekal pagar kokoh yang diperoleh dari proses penggemblengan.

Sebagai orang tua yang baik dan bijaksana, tindakan apa yang akan diterapkan? Pilihannya ada di tangan anda sendiri.

Sidoarjo, 04 Juli 2013
Terinspirasi dari ceramah ustadz Zulfa dalam acara bakti sosial anak yatim di daerah Waru - Sidoarjo.



Menuju Pembodohan Diri yang Mulia

Perjalanan selalu menyisakan kerak memori yang mengendap dengan lembar-lembar tipis yang menebal. Perjalanan selalu menyisakan sebuah cerita yang layak dijadikan pelajaran, atau hanya sekedar berguna untuk dituliskan. Karena sifatnya yang menemukan sesuatu yang baru dengan kepekaan indra sepanjang perjalanan, sering pula muncul suatu proses asosiasi pengalaman yang akan menimbulkan 'masalah' dalam pikiran. Masalah itu harus terselesaikan. Harus terpikirkan, dan terkeluarkan.

Lepas dari banyaknya pelajaran yang dapat diserap selama perjalanan berlangsung, pada awal sebelum perjalanan dilaksanakan, mungkin setiap orang tidak merasakan adanya suatu 'keganjilan' yang melingkupi hidupnya. Kebanyakan orang tidak merasakannya karena indra kepekaannya telah terselimuti oleh kabut bernama kebiasaan. Suatu kesenjangan akan datang setelah adanya perbedaan persepsi asing yang menyergap sebagai oleh-oleh hasil perjalanan.

Contoh yang paling sederhana namun sangat telak cambukannya, adalah ketika seseorang merasa pintar dan baik-baik saja dengan keadaan fisik, jiwa dan otaknya. Atau setidaknya, seseorang merasakan tidak adanya keganjilan dan merasa tidak ada apa-apa dengan dirinya sendiri. Ada kalanya, hal itu dikarenakan oleh keberadaan seseorang yang hanya ada dalam lingkup kebodohan, atau berada pada lingkungan orang-orang yang tidak suka berfikir, bertukar gagasan, atau bahkan sekedar membaca dan mencerna suatu informasi. Selain lingkungan yang tidak mendukung, ternyata perasaan pintar, atau setidaknya baik-baik saja itu kerap dikarenakan perkumpulan yang dimasuki oleh seseorang tersebut hanyalah kumpulan orang-orang yang berada satu tangga lebih rendah darinya, atau setidaknya sejajar dengannya.

Apa jadinya ketika orang tersebut tiba-tiba dalam suatu kesempatan membaur dengan orang-orang yang berada dalam satu atau beberapa anak tangga lebih tinggi dari padanya? Hal ini jelas melahirkan suatu masalah. Orang, bisa dikatakan sebagai orang pintar tatkala berada dalam lingkup orang yang lebih bodoh darinya. Akan tetapi dengan kemampuannya tersebut, akan sangat gampang menjulukinya sebagai orang bodoh ketika berada pada deretan orang yang cerdas dan cerdik.

Dalam suatu kajian siang telah disebutkan bahwa, ada langit di atas langit. Ya. Dan itu bukan merupakan suatu kebohongan. Seseorang bisa saja mengklaim dirinya sebagai orang yang pintar dengan bukti-bukti yang nyata. Tapi perlu dicatat bahwa ketika dalam keadaan tersebut, dia sedang berada dalam lingkup kebodohan yang telah melingkung. Itulah sebabnya mengapa terlahir sebuah pemikiran bahwa semakin seseorang berani untuk 'keluar' dan mengetahui sesuatu, maka semakin pulalah ia merasa bahwa dirinya adalah bodoh, dekil, dungu dan kecil. Dan karena itulah mengapa, untuk menjadi orang yang tidak sombong, maka lihatlah ke atas, maka kita akan menemukan suatu lingkup kebodohan yang tidak layak untuk dipamerkan.

Surabaya, 01 Juli 2013
Dalam lingkup kebodohan.


Inspirasi Pagi

Bagi pemalas dan si tukang tidur -seperti saya-, pagi mungkin lebih bisa dinikmati dengan hanya memeluk guling dan kembali meringkuk didalam ketebalan selimut yang hangat. Tapi bagi penggiat, -bukan penggiat tidur pastinya- pagi adalah suatu tenaga baru, pagi adalah suatu gairah membuncah, dan pagi adalah suatu inspirasi.

Inspirasi pagi. Jadi teringat salah satu rekan yang menamakan media share tulisannya dengan nama ini, Inspirasi Pagi. Mungkin, ia sebagai orang penyemangat ingin menegaskan bahwa inspirasi itu adalah pagi. Semangat itu pagi, dan indah itu pagi. Pagi selalu segar menjanjikan. Kata salah satu temanku, pagi adalah kado yang siap kita buka kapan saja, yang pastinya kita tak tahu apa yang ada di dalam pagi itu. Tuhan, selalu memberikan kado kepada manusiaNya setiap hari. Dengan sejuta kejutan.

Bagaimana mekanismenya? Kata orang orang-orang ilmu pasti, pagi adalah digunakannya berjuta-juta sel-sel yang terlahir baru yang sedetik sebelumya telah mengalami regenerasi dalam tidur. Sel-sel tersebut masih suci, dan siap digunakan sebagaimana mestinya.

Bagaimana kronologinya? Kata orang-orang ilmu sosial, pagi adalah suatu saat dimana hati belum dicemari oleh berbagaimacam kepelikan dunia perekonomian, sosial, atau semacamnya. Pagi masih begitu bening. Hati tidak terkotori oleh hasil dari interaksi antara diri dengan manusia lain, dengan hewan lain, dengan tumbuhan lain atau dengan makhluk lain.

Bagaimana pagi bisa menjadi inspirasi? Ya, Tuhan telah begitu baik dengan menjodohkan pagi dengan embun. Tuhan telah begitu Cerdas dengan memasangkan pagi dengan sinar terik mentari yang membawa gairah. Sesekali, silahkan anda sentuh dedaunan yang ada didekat anda berpijak. Rasakan gairahnya, dan bandingakan dengan siang yang terasa lemas dan loyo.

Maka dari itu, Tuhan saja sudah menyediakan berjuta-juta inspirasi yang siap untuk kita tumpahkan. Bukan hanya sekadar dipandang atau dipikirkan. Tapi silahkan ditumpahkan, silahkan dipatahkan, silahkan diselami dengan fikiran dan gerakan gemulai di atas sebuah kertas.

Refresh Otak

Aaaaaaaaaaaaaaahh, ternyata sudah lama sekali ya saya tidak nyantolin tulisan-tulisan saya di blog? Wah, sebenarnya, jika boleh jujur, banyak sekali pikiran, ide dan perasaan yang sangat ingin saya tuangkan dalam bentuk tulisan, tapi endingnya ternyata sangat menyedihkan dan hanya berakhir pada kolam mimpi. Nyiahahahaaa... saya bilang dulu juga apa? Kata pelatih nulis saya, orang menulis itu seperti berenang. Jika nggak langsung 'nyemplung',  ya nggak basah. Iya apa iya?

Oke, ngomongin dunia tulis menulis emang nggak akan ada habisnya. Artinya, adaaaaaaa aja yang perlu dan harus dibicarain. Tentang menulis di tempat yang baru dan berbeda misalnya, bisa kita masukkan dalam kategori kegiatan yang bisa menimbulkan stimulus berupa semangat untuk meciptakan karya tulis. Suasana yang berbeda akan melahirkan suatu ide yang fresh juga dalam otak kita. Karna sebelumnya otak kita pernah mengalami keadaan fresh, lalu loyo dan pada saat tertentu menjadi fresh kembali, maka keadaan untuk mencapai kefreshan lagi tersebut bisa kita namakan sebagai kegiatan me-refresh.

Kita menulis, kenapa yang di bahas merefresh otak? Bukannya merefresh tulisan? Ya. Karena ternayata selalu saja menulis itu membutuhkan peran otak yang aktif berkerja. Kita, mempunyai kekuatan sebesar apapun, keinginan sepanjang apapun, jika otak atau pikiran kita nggak nggathuk, hasilnya akan sia-sia belaka. Berbentuk tulisanpun, pasti hasil akhirnya akan ambur adul. Konklusinya? Itu bukan tulisan, tapi hanya deretan kata tanpa makna, tanpa maksud tujuan.

Nah, itulah mengapa untuk edisi kali ini, setelah saya terminal terlalu lama dalam menulis, dan ternyata setelah mendapat tempat baru saya bisa menulis, saya pun menulis dan membicarakannya. Bahwa menulis itu bukan sesuatu yang mudah, tapi bukan juga termasuk sesuatu yang menakutkan dan sesulit memotong tali baja. Intinya, jangan terlalu meremehkan, juga jangan terlalu menganggap sulit. Yang harus kita lakukan hanyalah mewujudkan suatu keadaan dimana otak kita mau untuk bekerja lebih kreatif lagi. Selamat mencoba!

Sidoarjo, 24 Juni 2013
Malam pertama di tempat pengabdian