Perjalanan selalu
menyisakan kerak memori yang mengendap dengan lembar-lembar tipis yang menebal.
Perjalanan selalu menyisakan sebuah cerita yang layak dijadikan pelajaran, atau
hanya sekedar berguna untuk dituliskan. Karena sifatnya yang menemukan sesuatu
yang baru dengan kepekaan indra sepanjang perjalanan, sering pula muncul suatu
proses asosiasi pengalaman yang akan menimbulkan 'masalah' dalam pikiran.
Masalah itu harus terselesaikan. Harus terpikirkan, dan terkeluarkan.
Lepas dari banyaknya
pelajaran yang dapat diserap selama perjalanan berlangsung, pada awal sebelum
perjalanan dilaksanakan, mungkin setiap orang tidak merasakan adanya suatu
'keganjilan' yang melingkupi hidupnya. Kebanyakan orang tidak merasakannya
karena indra kepekaannya telah terselimuti oleh kabut bernama kebiasaan. Suatu
kesenjangan akan datang setelah adanya perbedaan persepsi asing yang menyergap
sebagai oleh-oleh hasil perjalanan.
Contoh yang paling
sederhana namun sangat telak cambukannya, adalah ketika seseorang merasa pintar
dan baik-baik saja dengan keadaan fisik, jiwa dan otaknya. Atau setidaknya,
seseorang merasakan tidak adanya keganjilan dan merasa tidak ada apa-apa dengan
dirinya sendiri. Ada kalanya, hal itu dikarenakan oleh keberadaan seseorang
yang hanya ada dalam lingkup kebodohan, atau berada pada lingkungan orang-orang
yang tidak suka berfikir, bertukar gagasan, atau bahkan sekedar membaca dan
mencerna suatu informasi. Selain lingkungan yang tidak mendukung, ternyata
perasaan pintar, atau setidaknya baik-baik saja itu kerap dikarenakan
perkumpulan yang dimasuki oleh seseorang tersebut hanyalah kumpulan orang-orang
yang berada satu tangga lebih rendah darinya, atau setidaknya sejajar
dengannya.
Apa jadinya ketika
orang tersebut tiba-tiba dalam suatu kesempatan membaur dengan orang-orang yang
berada dalam satu atau beberapa anak tangga lebih tinggi dari padanya? Hal ini
jelas melahirkan suatu masalah. Orang, bisa dikatakan sebagai orang pintar
tatkala berada dalam lingkup orang yang lebih bodoh darinya. Akan tetapi dengan
kemampuannya tersebut, akan sangat gampang menjulukinya sebagai orang bodoh
ketika berada pada deretan orang yang cerdas dan cerdik.
Dalam suatu kajian
siang telah disebutkan bahwa, ada langit di atas langit. Ya. Dan itu bukan
merupakan suatu kebohongan. Seseorang bisa saja mengklaim dirinya sebagai orang
yang pintar dengan bukti-bukti yang nyata. Tapi perlu dicatat bahwa ketika
dalam keadaan tersebut, dia sedang berada dalam lingkup kebodohan yang telah
melingkung. Itulah sebabnya mengapa terlahir sebuah pemikiran bahwa semakin seseorang
berani untuk 'keluar' dan mengetahui sesuatu, maka semakin pulalah ia merasa
bahwa dirinya adalah bodoh, dekil, dungu dan kecil. Dan karena itulah mengapa,
untuk menjadi orang yang tidak sombong, maka lihatlah ke atas, maka kita akan
menemukan suatu lingkup kebodohan yang tidak layak untuk dipamerkan.
Surabaya, 01 Juli
2013
Dalam lingkup
kebodohan.
hemmm. .
aku tau nih maksudnya??
hiwaaow keren atuh kak postingannya*sungkem* \m/
Apapun komentarnya, yang peting terimakasih sudah bersedia membaca dan (apalagi) meninggalkan komentar. saya tunggu kritikannya yaa :)
Posting Komentar