Global Var

Menangkap 'Keburukan' untuk Kebaikan


Orang tua merupakan media paling efektif dalam mengajarkan sesuatu pada anak-anaknya, terumatama pelajaran-pelajaran non formal seperti etika, tata krama kehidupan keseharian dan lain sebagainya. Telah dimuat dalam postingan sebelumnya yang berjudul Bentuk-Bentuk Pola Asuh Orang Tua terhadap Anak bahwa, dalam mendidik anak, ada kalanya orang tua bersikap otoriter, permisif ataupun demokratis.

Anak, merupakan manusia yang berada dalam kondisi perkembangan, baik perkembangan fisik, psikis, pola pikir maupun proses penemuan jati diri. Jika harus menengok ke belakang, maka akan ditemukan adanya suatu kekosongan memori atau pengalaman yang biasanya akan dijadikan sebagai batu pijak anak. Oleh karena itu, disinilah tempat orang tua seharusnya berdiri. Dalam artian, orang tua wajib memberikan pelatihan berupa teori sebagai bekal pemahaman kepada anak, juga bekal praktek jika memang memungkinkan. Pantauan dan motivasi pastinya tidak boleh sampai terputus untuk terus mendorong perkembangan anak.

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter, biasanya adalah orang tua yang mengalami krisis kepercayaan kepada anak. Mereka selalu mengkhawatirkan kemampuan anak, sehingga membuat semua keputusan sebagai jalan yang harus dilalui oleh anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk urun rembug. Pola seperti ini kurang baik diterapkan meskipun yang diajarkan orang tua terhadap anak merupakan suatu kebaikan secara keseluruhan. Kebanyakan orang tua dalam pola ini sangat mengkhawatirkan ketidakmampuan anak dalam memfilter kejadian-kejadian buruk. Akibatnya, tidak jarang anak mengalami suatu fase keterpaksaan dalam menjalankan kehidupannya, dan kurang bisa menikmati kegiatan-kegiatan yang sedang dijalaninya.

Berbeda dengan pola asuh otoriter, pola asuh yang sangat permisif juga sangat tidak dianjurkan pada proses pengasuhan anak. Jika pola otoriter merupakan suatu krisis kepercayaan, maka pola asuh permisif ini terbilang terlalu percaya kepada anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini biasanya kurang tau -atau bahkan tidak ingin tahu- tentang kebutuhan dan kondisi anak. Sehingga anak tidak mempunyai tempat berpijak dan akhirnya mencari pijakan dengan tanpa pantauan dan arahan dari orang tua. Dan tak jarang pula pijakan yang digunakan adalah pijakan yang salah menurut norma.

Nah, sekarang, pola apa yang sebaiknya diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan serta kondisi anak? Ya, adalah pola asuh demokratis yang seharusnya diterapkan orang tua dalam mengasuh anak. Melihat masalah-masalah yang dihadapi oleh anak di atas, bahwa anak membutuhkan bantuan dalam berkembang, maka keteribatan anak dalam memutuskan sesuatu juga sangat dibutuhkan.

Analogikan pola asuh ini sebagai krupuk sebelum di goreng. Umpamakan krupuk sebagai anak, minyak sebagai lingkungan dan dunia luar, serta sinar matahari sebagai alat untuk menggembleng anak. Biasanya sebelum di goreng dengan minyak panas, krupuk di jemr dibawah terik matahari agar dapat mengembang secara sempurna. Istilah jawa menyebutkan kata kebrangas untuk kasus ini. Begitu juga dengan anak, anak tidak serta merta harus selalu dikenalkan pada hal-hal yang positif saja. Sebaiknya anak dikenalkan pula pada hal-hal yang negatif demi memberikan contoh agar hal-hal tersebut sebisa mungkin dihindari. Karena untuk mengaktualisasikan diri, anak membutuhkan sinar matahari sebagai media penggembleng.

Manfaatnya ya seperti krupuk tadi, ketika anak telah benar-benar bertemu dengan minyak goreng panas (dunia luar), istilahnya anak tidak kebrangas dan dapat mengaktualisasasikan dirinya dengan benar. Potensi yang dimilikinya akan dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan dan bekal pagar kokoh yang diperoleh dari proses penggemblengan.

Sebagai orang tua yang baik dan bijaksana, tindakan apa yang akan diterapkan? Pilihannya ada di tangan anda sendiri.

Sidoarjo, 04 Juli 2013
Terinspirasi dari ceramah ustadz Zulfa dalam acara bakti sosial anak yatim di daerah Waru - Sidoarjo.